Alamat

Office : Jl Susukan Raya No. 15A Desa Susukan Bojonggede - Bogor Tlp : 021 87982805 BBM : 552C988E Contact Person Bayu Syahrezza : +628991551947

Senin, 25 Januari 2016

Prof Ronny Beberkan Bagaimana Cara Hakim Membuat Kejahatan Sempurna

Jakarta -
Dalam teori kriminologi terdapat adagium 'tidak ada kejahatan yang sempurna'. Tetapi di tangan hakim, kejahatan tersebut bisa menjadi sempurna, tanpa cacat dan jejak. Bagaimana hal tersebut terjadi?

"Dalam menerapkan hukum, hakim memiliki kekuasaan bebas, mandiri, dan independen dari campur tangan pihak mana pun. Semua itu diperlukan supaya ia dapat memberikan putusan hukum yang adil," kata Ronny.

Pendapat ini dituangkan dalam artikel 'Fenomena Judicial Crime di Indonesia' dalam buku 'Demi Keadilan: Antologi Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana' yang dikutip detikcom, Selasa (26/1/2016). Buku itu diluncurkan sebagai penanda 6 Dasawarsa Prof Harkristuti Harkrisnowo di Aula FH UI, Depok, Jawa Barat, Senin (25/1) kemarin.

"Tetapi kewenangan (ditulis di buku dalam huruf tebal-red) ini akan menimbulkan multitafsir tatkala 'kebebasan' tersebut dianggap oknum yang bersangkutan sebagai keleluasaan untuk melakukan perbuatan menguntungkan diri sendiri dengan memanfaatkan hukum sebagai alatnya (law as tool of crime)," ujar pria kelahiran 2 Juli 1943 itu di halaman 570.



"Perilaku ini akan menjelma menjadi kejahatan sempurna (perfect crime) karena sengaja dibungkus dengan hukum yang berlaku sehingga seolah-olah merupakan bagian dari penegakan hukum atau kebijakan resmi," sambung ahli yang menyelesaikan disertasi dengan judul 'Reaksi Sosial Terhadap Praktik Ilmu Hitam (Teluh) di Banten-Pendekatan Antropologi-Kriminologi' ini.

Berlindung pada asas kebebasan di atas, ditambah asas Ius Curia Novit (hakim dianggap tahu segalanya), godaan melakukan penyimpangan dalam profesi mulia ini demikian besar. Seakan di tangan hakimlah semua persoalan dapat diputarbalikkan.

"Hitam menjadi putuh, yang salah menjadi benar, dan sebaliknya," cetus Ronny yang mengusulkan pasal santet dalam RUU KUHP.

Dengan kekuasaan tersebut, maka pihak yang berperkara turut terpancing untuk memanfaatkan diskresi tersebut. Di mana diskresi diberikan UU untuk penegak hukum agar hukum dapat mencapai cita-citanya. Tapi ketika hukum bersentuhan dengan kepentingan-kepentingan, akan terjadi pergulatan antara menegakkan hukum dan menggunakan hukum.

"Perilaku 'menggunakan hukum' di atas marak dilakukan oknum hakim yang menyalahgunakan kewenangan diskresinya untuk kepentingan pribadi," ujar guru besar UI itu.

Seorang hakim yang amanah akan mudah menjauhkan diri dari hal-hal yang tak patut dilakukan. Tapi bagi oknum hakim, maka menjadi sebaliknya ketika hakim ikut menjadi pihak berkepentingan dalam perkara yang ditanganinya. Alhasil, keadilan menjadi jauh karena kemampuan serta pengetahuan hakim di bidang hukum akan diarahkan oleh yang bersangkutan untuk memenuhi tujuan pribadi semata.

"Sebagaimana ungkapan klasik dalam literatur hukum dan kriminologi, nemo iudex idoneusin propria causa, tiada seorang pun dapat menjadi hakim yang baik di dalam kepentingannya sendiri," pungkas pria bernama lengkap Tubagus Ronny Rachman Nitibaskara tersebut.

Hadir dalam peluncuran buku tersebut Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan tiga mantan Menteri Kehakiman yaitu Prof Muladi, Andi Mattalatta dan Amir Syamsuddin. Hadir pula para kolega seperti hakim agung Salman Luthan, mantan hakim agung Vallerina JL Kriekhof, mantan dekan FH UI Mardjono Reksodiputro, advokat Luhut Pangaribuan, advokat Maqdir Ismail, ahli pencucian uang Yenti Garnasih, dan jajaran guru besar FH UI seperti Prof Hikmahanto Juwana, Prof Satya Arinanto, Prof Erman Rajagukguk dan Prof Indrianto Seno Adji.
(asp/nrl)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar