Alamat

Office : Jl Susukan Raya No. 15A Desa Susukan Bojonggede - Bogor Tlp : 021 87982805 BBM : 552C988E Contact Person Bayu Syahrezza : +628991551947

Rabu, 20 Januari 2016

Memulihkan Anak dari Rasa Trauma

KOMPAS.com - Berbagai peristiwa dalam hidup kita, mulai dari bencana alam, kriminalitas, hingga meninggalnya orang terdekat, dapat menimbulkan rasa trauma. Tak terkecuali pada anak-anak.

"Anak-anak Indonesia memang sering menghadapi peristiwa traumatik. Bahkan, bangsa kita adalah bangsa yang trauma," kata Psikolog Forensik Nathanael EJ Sumampauw dalam diskusi bersama Forum Ngobrol Bareng Sahabat (Ngobras) di Jakarta (19/1/16).

Bukan hanya peristiwa langsung, paparan informasi bertubi-tubi mengenai suatu tragedi juga dapat menyebabkan terjadinya trauma sekunder.

"Trauma sekunder itu timbul walau seseorang tidak merasakan langsung atau tidak hadir dalam peristiwa itu tapi efeknya dirasakan," ujar psikolog yang biasa disapa Nael ini.

Ia menjelaskan, anak-anak dan orangtua hidup di tempat yang sama, sehingga apa yang terjadi di sekitar kita juga akan dirasakan oleh anak.

Trauma pada anak, menurut psikolog Sani Budianti Hermawan, M.Si, bisa terjadi ketika berita yang muncul menimbulkan ketakutan berlebih.

"Misalnya melihat gambar korban tanpa sensor. Ini bisa menghantui anak sehingga sulit tidur atau bahkan mengganggu konsentrasinya," kata Sani saat dihubungi Kompas.com (17/1/16).

Reaksi trauma, menurut Nael, adalah hal yang wajar. Yang tidak wajar adalah pengalamannya.

Tidak semua anak menunjukkan perilaku yang sama dalam menghadapi kejadian traumatik. Ada yang menunjukkan gejala penghindaran (avoidance), yakni menghindari segala sesuatu yang berkaitan dengan trauma yang ia alami. Misalnya, tidak mau melewati lokasi suatu kejadian.

Gejala kedua adalah mengingat-ingat atau mengulang kejadian yang sudah berlalu (reexperiencing). Lalu yang ketiga adalah ketergugahan fisik yang berlebihan (hyper arousal), misalnya takut mendengar suara keras, dan sebagainya.

"Yang harus dikenali orangtua adalah perubahan sikap yang signifikan dari anak. Tidak selalu anak menjadi pasif atau menarik diri. Ada juga anak trauma yang justru menjadi aktif atau agresif," ujar Nael.

Perubahan sikap yang mungkin terjadi misalnya anak yang tadinya tidak pernah mengompol sekarang jadi sering ngompol, atau anak terus "nempel" dengan orangtua, atau gangguan konsentrasi belajar.

Yang bisa membedakan perubahan itu hanya orangtua atau orang terdekat. Dengan mengenali perubahan itu orangtua bisa melakukan deteksi dini agar dampak trauma tidak terbawa sampai anak dewasa.

Atasi trauma

Bila anak menunjukkan tanda trauma, orangtua perlu menjelaskan pada anak mengenai kejadian traumatik yang dialaminya. Ajak anak berdialog untuk menggali sejauh mana pemahaman anak dan bagaimana perasaannya.

"Batasi paparan bermuatan kekerasan lebih lanjut melalui media massa. Risiko anak trauma juga lebih besar jika ia tinggal dengan orang dewasa yang memiliki reaksi berlebihan terhadap peristiwa itu," ujar Nael.

Meski anak perlu dijelaskan mengenai peristiwa tersebut, tapi orangtua juga sebaiknya menumbuhkan optimisme dan harapan pada anak. Misalnya untuk peristiwa kriminalitas atau terorisme, ceritakan aksi heroik polisi yang dengan cepat melumpuhkan terorisnya atau relawan yang menolong korban bencana alam.

Pada anak yang mengalami trauma, ekspresikan kasih sayang dari orangtua, misalnya dengan memberi pelukan, tersenyum, dan mengajaknya beraktivitas.

Bantu anak untuk melakukan rutinitasnya, misalnya kembali bersekolah, bermain bola, atau mengikuti les. "Rutinitas akan memberikan harapan pada anak akan hari esok," kata dosen di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini.

Sementara itu, tanda-tanda anak sudah terlepas dari trauma adalah anak sudah bisa bermain, bersekolah, bergaul, atau menikmati hari-harinya dengan baik.

"Itu adalah indikator anak sudah adaptif terhadap kejadian yang dialaminya. Berarti ia cukup tangguh (resilience) melampaui masa sulit," ujarnya.

Editor : Lusia Kus Anna

Tidak ada komentar:

Posting Komentar