Alamat

Office : Jl Susukan Raya No. 15A Desa Susukan Bojonggede - Bogor Tlp : 021 87982805 BBM : 552C988E Contact Person Bayu Syahrezza : +628991551947

Selasa, 19 Juli 2016

Metallica dan Filsafat Kehidupan ala Heavy Metal

Minggu, 17 Juli 2016 | 10:00 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Sukses The Black Album yang dirilis pada tahun 1992 memantapkan posisi Metallica sebagai band heavy metal paling fenomenal.

Memiliki jutaan penggemar dan jutaan keping album terjual, membawa mereka ke puncak dunia musik internasional.

Mereka yang tumbuh dewasa bersama musik dan lirik Metallica, menganggap James Hetfield, sang vokalis, seperti seorang filsuf yang memberikan ajaran tentang kehidupan ala heavy metal.

Metallica telah menjadi simbol pemberontakan lintas generasi terhadap norma dan peraturan hidup di masyarakat.

Tidak jarang mereka bicara tentang kemanusiaan dan bagaimana setiap orang menghargai kehidupan dengan menentang hukuman mati.

Sebagian besar lirik Metallica banyak menggali berbagai aspek kehidupan tentang keadilan, kecanduan alkohol, dan narkoba, masalah kejiwaan hingga persoalan politik.

Lirik di album pertama mereka tahun 1983 "Kill 'Em All" umumnya bicara tentang kemuraman hidup.

Seperti di lagu "No Remorse" yang menunjukkan bagaimana Metallica mengutuk kegilaan perang yang terjadi di masa itu.

Mereka juga mengkritik berbagai bentuk kekerasan yang terjadi di jalanan melalui lagu "Seek and Destroy"

Sementara di album ketiga tahun 1988, ...And Justice For All, Metallica menyinggung soal diskriminasi masyarakat di hadapan hukum, kejahatan perang, isu lingkungan dan penyensoran.

Sebagai musisi sekaligus pencipta lagu, Hetfield memang memiliki kemampuan lebih dalam menulis lirik yang memberi makna tersendiri bagi para penggemarnya.

Lirik Metallica yang powerful dan filosofis terdengar seperti sebuah perenungan. Hal tersebut menjadi ciri yang melekat di setiap albumnya.

Terapi

"Menulis lagu merupakan terapi bagi saya," ujar Hetfield dalam sebuah wawancara.

Pengaruh Metallica tidak hanya lahir dari sisi musikalitasnya saja, tapi juga dari lirik-lirik yang mereka tulis.

Sebait lirik dari lagu "Broken, Beat & Scarred" pernah menyelamatkan hidup seorang penggemarnya yang mengalami depresi.

"You rise, you fall, you're down, then you rise again. What don't kill you make you more strong. Breaking your life, broken, beat and scarred. But we die hard."

Tahun 2007, seorang profesor bidang filsafat di Kings College, Pennsylvania, bernama William Irwin menerbitkan buku yang berjudul Metallica and Philosophy: A Crash Course In Brain Surgery.

Buku tersebut merupakan kumpulan esai filsafat dari 20 akademisi yang membedah beberapa lirik lagu Metallica menggunakan teori para filsuf terkenal.

Dalam pengantar di dalam bukunya, Irwin mengatakan bahwa lirik-lirik lagu Metallica yang umumnya ditulis oleh James Hetfield seperti sebuah rangkaian puisi yang sama indahnya dengan puisi karangan Bob Dylan ataupun The Doors.

Menurut Irwin, lirik lagu Metallica lebih bermakna filosofis jika dibandingkan dengan lirik yang pernah ditulis oleh The Beatles dan U2.

Irwin memandang sebagian besar lirik lagu Metallica mampu menyentuh banyak aspek kehidupan.

Dia menggunakan beberapa lirik lagu Metallica sebagai bahan pengantar diskusi filsafat, dengan mengaitkannya pada ajaran filsuf terkenal seperti Aristoteles, Plato, Nietzsche, Jean-Paul Sartre hingga Karl Marx.

"Metallica bukan sekadar tentang musik," kata Irwin.

Hukuman mati

Salah satu esai berjudul Ride The Lightning: Why Not Execute Killes? yang ditulis oleh Thom Brooks misalnya, mengajak pembaca masuk dalam perdebatan tentang penerapan hukuman mati.

Dari lirik Metallica, Brooks memberikan pemahaman bahwa setiap narapidana, bahkan seorang pembunuh berantai sekalipun, tidak berhak untuk dijatuhi hukuman mati. Meskipun sang pembunuh tidak merasa menyesal atas perbuatannya itu.

Menurut Brooks, lagu "Ride The Lightning" ingin menyampaikan bahwa siapapun tidak memiliki hak untuk menghabisi nyawa orang lain atas kejahatan yang telah diperbuatnya.

Brooks mengutip bagian lirik yang menggambarkan perasaan seorang terpidana mati menurut interpretasi James Hetfield.

Wait for the sign, to flick the switch of death. It's the beginning of the end. Sweat, chilling cold. As i watch deat unfold. Consciousness my only friend. My fingeers grip with fear. What am i doing here?

Kematian, kata Brooks, tidak bisa dijadikan sebagai bentuk sebuah penghukuman. Penerapan hukuman mati di suatu negara menunjukkan betapa tidak beradabnya logika hukum yang digunakan untuk mengatur ketertiban masyarakat.

Filsuf Jonathan Glover menyebut hukuman mati sebagai hukuman mati sebagai sebuah kejahatan keji dan hukuman tak wajar.

Seperti juga yang pernah dikatakan Mahatma Gandhi, "an eye for an eye will only make the whole world blind" atau "mata dibalas mata hanya akan membuat seluruh dunia buta".

Penulis : Kristian Erdianto
Editor : Kistyarini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar