Pernyataan Kemenpora bahwa Sentul tak jadi dipilih sebagai venue untuk MotoGP 2017, dan dengan pede-nya ingin membuat sirkuit baru, terdengar seperti orang yang "bernafsu besar tenaga kurang."
Dari awal semestinya kita tahu, untuk menghajat event sekelas MotoGP, butuh dana yang sangat besar terutama untuk membenahi satu-satunya sirkuit internasional yang dimiliki Indonesia, tapi sialnya sudah sangat lawas. Sentul mirip dengan Stadion Utama Gelora Bung Karno: tua tapi masih "dibangga-banggakan" -- karena barangkali memang tak ada pilihan lain (?). Sejarah ingin terus dipelihara, tapi merawat fisiknya saja tak mau. Sentul dan GBK bukanlah benteng Belanda di Kepulauan Seribu atau Candi Borobudur, yang orisinalitasnya memang harus dipertahankan sebagai sebuah nilai luhur sejarah.
Sadarkah kita, waktu singgah ke Bali baru-baru ini, Valentino Rossi bilang: "Bagus sekali kalau MotoGP mau diadakan lagi di sini. Tapi perbaikilah dulu sirkuitnya." Kita bahkan patut bersyukur bahwa Rossi masih mengingat sirkuit ini walaupun terakhir kali dia memakainya 20 tahun yang lalu!
Maka ketika Gatot S. Dewa Broto, juru bicara Kemenpora, kemarin mengatakan pihaknya akan mencari tempat baru untuk membangun sirkuit baru, supaya kesempatan menggelar MotoGP 2017 tidak lepas, tidakkah itu terdengar --seperti istilah anak-anak sekarang-- PHP (pemberi harapan palsu)? Satu tahun untuk membangun sirkuit baru? Mohon maaf kalau penulis merasa pesimistis. Lha wong urusan wisma atlet saja ruwetnya minta ampun.
Okelah, tidak ada yang tidak mungkin. Iya, itu kalau tanahnya sudah ada, kalau besok rancangan sirkuitnya sudah jadi, dan lusa sudah bisa langsung peletakan batu pertama. Sejujurnya, menurut hemat penulis, banyak "keajaiban" dari keyakinan pemerintah bahwa sirkuit itu bisa cepat dibuat, entah di Jawa Barat, Jakarta, ataupun Sumatera Selatan. Bukankah Jabar sedang sibuk menyiapkan PON XIX, DKI dan Sumsel malahan sedang dikejar-tayang untuk Asian Games 2018?
Harus berapa ratus miliar lagi yang harus mereka cari untuk membangun proyek raksasa itu? Gandeng swasta! Lha kalau memang mudah mendatangkan mereka, lantas kenapa hingga kini tak terdengar ada pihak swasta yang ingin gotong royong merenovasi Sentul? Kalau memang gampang, kenapa sampai kemarin Rio Haryanto tak kunjung mendapatkan tambahan sponsor untuk mewujudkan mimpinya tampil di Formula 1, yang secara nominal jumlahnya tidaklah sebesar membangun sirkuit baru – hanya "sekitar" Rp 200-an miliar (untuk satu tahun).
Persoalan Rio juga mengesankan pemerintah (Kemenpora) merasa siap memikul banyak beban sekaligus. Memberikan surat jaminan kepada calon tim Rio adalah sebuah usaha yang sangat baik, karena pemerintah wajib memberi dukungan terbaik kepada anak bangsa yang juga akan membawa nama negara ke kancah internasional. Tapi, apakah mengeluarkan uang Rp 100 miliar, juga merupakan langkah yang tepat, jika mengingat anggaran Kemenpora untuk tahun 2016 "hanya" Rp 3,3 triliun untuk SEMUA cabang olahraga, atau tetap di bawah 1% dari APBN -- dan saking kecilnya selalu saja dikeluhkan. Belum lagi anggaran untuk pos lain termasuk Rp 600-an miliar untuk merenovasi GBK saja.
Harap digarisbawahi, penulis tidak bermaksud menyurutkan tekad Rio untuk bisa segera menembus F1. Ayolah, siapa yang tidak bangga jika ada pebalap Indonesia tampil di ajang sekelas F1? Ketika Manor menawarinya saja, penulis yakin semua orang Indonesia ikut merasa senang dan bangga. Karena itu berarti Rio memang punya kemampuan dan potensi besar untuk bisa sampai ke sana.
Dalam kasus Rio, menurut hemat penulis, pemerintah seharusnya bisa lebih strategis dalam merayu—kalau perlu memaksa—banyak perusahaan, BUMN apalagi swasta, untuk urunan membantu Rio. Merogoh sendiri kocek negara untuk membantu anak sendiri, kalau memang ada, ya tidak apa-apa juga sih. Tapi, bukankah pemerintah selalu berkehendak mengindustrikan olahraga, yang secara simpel bisa diartikan sebagai upaya mendorong swasta agar lebih berkontribusi untuk berinvestasi di dunia olahraga? Kalau semua harus ditanggung negara, banyak sekali beban yang harus dipikul. Poin lebih penting lagi adalah, kapan industrialisasi olahraga itu bisa berjalan dengan lebih baik?
Satu-satunya pebalap Asia Tenggara yang pernah mencicipi Formula 1, Alex Yoong, ketika masuk ke ajang tersebut disponsori perusahaan swasta bernama Magnum Corporation, yang mengelola bisnis lotere yang memang dilegalkan oleh pemerintah Malaysia. "Cuma" 5-6 juta dolar sih, tapi itu terjadi 15 tahun yang lalu.
Kembali ke Sentul, penulis tidak tahu apakah sempat ada upaya pemerintah membeli saham Sentul, sehingga sirkuit ini juga menjadi properti atau inventaris negara. Ada win-win solution. Apakah cara itu sudah diupayakan namun tidak deal, Gatot tidak menyampaikannya. Komunikasi yang dilakukannya tidak seperti Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang bersikeras hanya akan membantu keuangan Persija Jakarta kalau pemerintah provinsi diberi pula sahamnya. Dan ketika tidak dikasih, Ahok dengan enteng berkata, "Kalau tidak mau (dibantu), ya sudah.'
Menyiapkan Prioritas Legacy yang Lebih Realistis
Perlu sekali lagi ditegaskan, hal-hal di atas sama sekali bukan berarti penulis tidak mendukung rencana MotoGP 2017 diadakan di Indonesia, atau Rio yang tinggal sejengkal lagi masuk F1. Justru sebaliknya, percayalah, semua insan olahraga mengidam-idamkan hal itu, sebagai bukti bahwa masih banyak yang bisa dibanggakan Indonesia lewat jalur olahraga.
Hanya saja, alangkah baiknya jika setiap niat baik juga diimbangi dengan realitas dan kemampuan yang ada. Sehingga, jangan sampai kita terburu-buru mengejar hal-hal elok di permukaan kulit, tapi acapkali mengabaikan proses yang lebih fundamental di dalamnya. Penulis jadi teringat betapa pede-nya PSSI di awal tahun 2009 mencanangkan Indonesia jadi tuan rumah Piala Dunia 2022. Pastilah ada bedanya antara optimistis dengan tidak realistis.
Ketika di bulan September 2015 mulai mendengungkan akan membawa MotoGP ke Indonesia, tapi empat bulan kemudian mengumumkan tidak jadi di Sentul, jangan-jangan pemerintah belum terlalu siap membuat semua perhitungan. Ketika kemudian merasa yakin bisa membangun sirkuit baru dalam waktu satu tahun, semoga itu bukan sirkuit asal jadi demi misi "kejar tayang", atau karena sudah terlanjur menjanjikan event itu kepada masyarakat. Ketika Menpora memberi surat jaminan akan membantu mendanai Rio Haryanto, tapi jadwal pencairannya saja tak pasti, jangan sampai masyarakat menganggap pemerintah terkesan "PHP" kepada Rio.
Memiliki sirkuit standar internasional yang bagus, menghadirkan kembali MotoGP ke Indonesia, melahirkan pebalap F1, tentu saja akan menjadi warisan (legacy) yang mentereng untuk sebuah rezim pemerintahan. Jika bisa mewujudkan semua keinginan, tentu sebuah pencapaian yang luar biasa. Tapi, jika tidak semua keinginan bisa terwujud dalam waktu bersamaan, berarti harus ada skala prioritas, agar semua rencana tidak malah menjadi beban "pokoknya harus jadi", sementara kemampuan pun mesti ikut dipertimbangkan. Yang belum bisa dilakukan hari ini, masih bisa diupayakan lebih baik di esok hari.
Sudah barang tentu masih sangat banyak pekerjaan rumah dari Kemenpora. Menurut penulis, yang terdekat Kemenpora fokus dulu pada empat agenda prioritas.
Pertama, melanjutkan misi tata kelola sepakbola, karena sudah hampir satu tahun sepakbola kita masih "beku" tanpa kepastian perubahan yang lebih nyata, setelah Tim Transisi masih saja terlihat tak bergigi. Kedua, bagaimana pada pertengahan tahun ini Indonesia bisa mengembalikan tradisi meraih medali emas di Olimpiade. Ketiga, bagaimana supaya tahun depan Indonesia kembali berjaya di pentas SEA Games. Dan keempat, dan yang paling penting, mempersiapkan lebih baik lagi penyelenggaraan Asian Games, agar tidak malu-maluin.
Jika meninggalkan legacy adalah sebuah keharusan, barangkali keempat misi itu jauh lebih realistis untuk segera diupayakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar