Arie Mp Tamba, CNN Indonesia Rabu, 20/01/2016 16:24 WIB
Jakarta, CNN Indonesia -- “Buang semua yang pernah saya tulis. Ini karya terbaru dan terbaik saya!” Konon begitulah penyair Sitor Situmorang setiap kali menyampaikan karya terbaru kepada redaktur H.B. Jassin, pada masa suburnya berkarya.
Sebagian besar karya itu kemudian disoroti khusus oleh Subagio Sastrowardoyo sebagai Atavisme di Dalam Sajak dan Manusia Terasing di Balik Simbolisme Sitor, yang menunjukkan kegelisahan Sitor sebagai penyair.
Kritikus sastra Maman S. Mahayana menegaskan kegelisahan sang penyair sebagai "kegelisahan hidup dan semangat yang meledak-ledak" dalam Manusia Sitor Situmorang (1923-2014).
“Sebagai seorang Batak, ia sangat terbuka, lugas, dan gampang diajak bicara. Semalaman kita bisa dengan enteng berdiskusi, berdebat atau berbual-bual ke sana kemari, jika ada topik pembicaraan yang diminatinya,” demikian antara lain catatan Maman (Sastra Revolusioner, Esai-esai Sitor Situmorang; 2004).
Di dalam buku yang sama, Maman melampirkan pendapat krikitus A. Teeuw (1980) tentang Sitor sebagai penyair:
Tiga zaman: Sesudah Chairil Anwar, dia menjadi penyair Angkatan '45 terkemuka, dengan varian eksistensialismenya sendiri; lantas menonjol pula di zaman Demokrasi Terpimpin, dengan sajak yang... kehilangan sari kepenyairannya; kemudian, sesudah selingan delapan tahun terpaksa bungkam dalam tahanan, dia muncul lagi di panggung puisi Indonesia dengan arus sajak baru yang mewakili perkembangan baru.
Tiga Negeri: Sebagai penyair Sitor menunjukkan tiga sifat orientasi geografi budaya: jelas dia penyair Batak, yang setiap kali kembali ke tanah asal. Sudah tentu dia penyair Indonesia pula, wakil negara... dan pada akhirnya (atau awalnya: sebab Surat Kertas Hijau, 1955, sebagian besar dari Bumi Perancis) dia penghuni Eropa, khususnya Perancis, tetapi pula Italia dan Belanda dan beberapa negara lagi.
Tiga Bahasa: Sudah tentu puisi yang dikarangnya terutama dalam bahasa Indonesia, tetapi sesudah pembebasannya dari tahanan, dia mencipta pula cukup banyak puisi dalam bahasa Inggris (The Rites of the Bali Aga) dan dalam bahasa Belanda.
Penggambaran Teeuw menegaskan pula sikap hidup Sitor yang terus mencari dan menjalani kegelisahan, yang dalam bahasa Sitor adalah “kegelisahan sebagai tanda hidup,” seperti tercermin dari belasan buku kumpulan puisi, cerpen, naskah drama, juga ratusan esai yang ditulisnya.
Uniknya, esai-esai Sitor memperlihatkan, bagaimana “kalangan” seniman pada masa awal kemerdekaan sampai dekade pertama dan ke-dua sesudahnya, begitu “dekat dan aktif” bernegara Indonesia.
Seniman berada di tengah persoalan sosial, politik, budaya keseharian masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. Para seniman bahkan aktif di partai politik, seperti halnya Sitor di Partai Nasional Indonesia (PNI).
Berbeda dengan dekade-dekade selanjutnya. Yang digambarkan dengan ilustrasi seperti ini: dalam kunjungannya ke Mesir, di antaranya, di bandara, Bung Karno dengan bangga memperkenalkan penyair dan budayawan Indonesia yang jadi anggota rombongan kunjungan kerjanya.
Sementara “kini,” yang umum terjadi adalah bagaimana para kepala negara memilih membawa rombongan pengusaha dalam kunjungan kerjanya.
Boleh jadi ini menjelaskan terjadinya pergeseran “budaya bernegara,” dari kerja sama politik dan kebudayaan pada beberapa dekade lalu, beralih ke kerja sama ekonomi dan politik-keamanan sebagai paradigma mutakhir.
Hingga para seniman dan pemerintah sibuk menempuh “jalan” masing-masing, dipisahkan pendekatan ekonomi yang semakin jadi “panglima,” hampir di semua lini kegiatan bernegara dan bermasyarakat.
(dlp)