Kamis, 03 Desember 2015, 18:12 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maluku, Abidin Wakano, mengatakan pemimpin agama harus segera bertansformasi. Hingga saat ini, Abididn melihat masih ada masalah dengan misi dan dakwah para pemuka agama yang dapat memicu konflik di tengah masyarakat.
"Pemimpin agama terkadang menggunakan bahasa-bahasa yang menyudutkan pihak-pihak tertentu. Akibatnya, umat merasa dihadapkan pada musuh-musuh imajiner," ujar Dosen IAIN Ambon ini saat ditemui Republika.co.id dalam acara Seminar Peran Pemimpin Agama Dalam Merawat Perdamaian di Jakarta, Kamis (3/12).
Selain itu, tantangan kerukunan beragama di Indonesia juga dihadapkan pada besarnya pengaruh media terutama media sosial dalam mengkonstruksi stigma-stigma negatif. Sehingga, membuat hubungan antar agama terkadang berada dalam posisi saling mencurigai dan menghilangkan sikap saling percaya di antara pemimpin-pemimpin agama.
Selain pemimpin agama, Abidin mengatakan, lembaga-lembaga keagamaan juga berperan dalam meredam ketegangan antar agama. Peran tokoh dan lembaga keagamaan harus menjadi provokator damai dan lebih tegas menempatkan diri menjadi agen perdamaian. "Lembaga-lembaga keagamaan harus sensitif terhadap kondisi lingkungan," kata Abidin menerangkan.
Sementara, dalam konteks wilayah konflik seperti Maluku, Abidin memaparkan, agama-agama harus menjadi kekuatan profetik yang mendamaikan dan menyembuhkan luka. Karena, orang-orang yang berkonflik terwarisi stigma kolektif.
Hal itu tidak hanya berlaku di Maluku, begitu juga dengan wilayah lainnya yang terdampak kekerasan atas nama agama. Dalam kasus ini, dia mengatakan, agama tidak boleh lagi saling mengklaim melainkan mulai membangun kebajikan bersama untuk menyikapi isu-isu kemanusiaan, kesehatan dan lingkungan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maluku, Abidin Wakano, mengatakan pemimpin agama harus segera bertansformasi. Hingga saat ini, Abididn melihat masih ada masalah dengan misi dan dakwah para pemuka agama yang dapat memicu konflik di tengah masyarakat.
"Pemimpin agama terkadang menggunakan bahasa-bahasa yang menyudutkan pihak-pihak tertentu. Akibatnya, umat merasa dihadapkan pada musuh-musuh imajiner," ujar Dosen IAIN Ambon ini saat ditemui Republika.co.id dalam acara Seminar Peran Pemimpin Agama Dalam Merawat Perdamaian di Jakarta, Kamis (3/12).
Selain itu, tantangan kerukunan beragama di Indonesia juga dihadapkan pada besarnya pengaruh media terutama media sosial dalam mengkonstruksi stigma-stigma negatif. Sehingga, membuat hubungan antar agama terkadang berada dalam posisi saling mencurigai dan menghilangkan sikap saling percaya di antara pemimpin-pemimpin agama.
Selain pemimpin agama, Abidin mengatakan, lembaga-lembaga keagamaan juga berperan dalam meredam ketegangan antar agama. Peran tokoh dan lembaga keagamaan harus menjadi provokator damai dan lebih tegas menempatkan diri menjadi agen perdamaian. "Lembaga-lembaga keagamaan harus sensitif terhadap kondisi lingkungan," kata Abidin menerangkan.
Sementara, dalam konteks wilayah konflik seperti Maluku, Abidin memaparkan, agama-agama harus menjadi kekuatan profetik yang mendamaikan dan menyembuhkan luka. Karena, orang-orang yang berkonflik terwarisi stigma kolektif.
Hal itu tidak hanya berlaku di Maluku, begitu juga dengan wilayah lainnya yang terdampak kekerasan atas nama agama. Dalam kasus ini, dia mengatakan, agama tidak boleh lagi saling mengklaim melainkan mulai membangun kebajikan bersama untuk menyikapi isu-isu kemanusiaan, kesehatan dan lingkungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar