Asslm.wr.wb
Ma’a syiral muslimin wal muslimat rahimmakumullah,
Ada hadits pendek Rasulullah namun sarat makna,
“Khairun naas anfa ‘uhum linnaas.” Yang artinya adalah:
sebaik-baik manusia adalah siapa yang paling banyak manfaat bagi orang lain.
Manusia
itu makhluk sosial. Tak ada yang bisa membantah. Tidak ada satu
orangpun yang bisa hidup sendiri. Semua saling ketergantungan dan
saling membutuhkan satu dengan yang lain.
Karena saling
membutuhkan, pola hubungan seseorang dengan orang lain adalah untuk
saling mengambil manfaat. Ada yang memberi jasa dan ada yang mendapat
jasa. Si pemberi jasa mendapat imbalan dan penerima jasa mendapat
manfaat. Itulah pola hubungan yang simbiose mutualistis, saling memberi
dan saling membutuhkan yang umum dan adil.
Jika ada
orang yang mengambil terlalu banyak manfaat dari orang lain dengan
pengorbanan yang amat minim, naluri kita akan mengatakan itu
tidak adil,
orang itu telah berlaku curang. Dan kita akan mengatakan seseorang
berbuat jahat ketika mengambil banyak manfaat untuk dirinya sendiri
dengan cara yang curang dan melanggar hak-hak orang lain.
Begitulah
hati nurani kita, selalu menginginkan pola hubungan yang saling ridha,
saling menguntungkan dalam mengambil manfaat dari yang satu dengan
yang lain. Jiwa kita akan senang dengan orang yang mengambil manfaat
bagi dirinya dengan cara yang baik.
Kita anggap seburuk-buruk manusia orang yang mengambil manfaat banyak dari diri kita dengan cara yang salah. Apakah itu menipu, mencuri, berbohong, berbuat dhalim, atau mengambil paksa, bahkan dengan kekerasan.
Namun yang luar biasa adalah
orang lebih banyak memberi dari mengambil manfaat dalam berhubungan dengan orang lain. Orang yang seperti ini kita sebut orang yang terbaik di antara kita,
dermawan, suka menolong orang lain, ringan tangan, santun, banyak beramal shalih, ikhlas tanpa pamrih.
Orang yang selalu menebar kebaikan dan memberi manfaat bagi orang lain
adalah sebaik-baik manusia. Kenapa Rasulullah SAW menyebut seperti itu?
Setidaknya ada empat alasan.
Pertama, karena ia dicintai Allah SWT.
Rasulullah SAW pernah bersabda yang
bunyinya
kurang lebih, orang yang paling dicintai Allah adalah yang paling
bermanfaat bagi orang lain. Syarat utama agar dicintai Allah SWT adalah
seseorang tersebut harus Islam.
Kedua, karena ia melakukan amal yang terbaik.
Kaidah
fiqih menyebutkan bahwa kebaikan yang amalnya dirasakan orang lain
lebih bermanfaat ketimbang yang manfaatnya dirasakan oleh diri sendiri.
Apalagi jika spektrumnya lebih luas lagi. Amal itu bisa menyebabkan
orang seluruh negeri merasakan manfaatnya. Karena itu tak heran jika
para sahabat ketika ingin melakukan suatu kebaikan bertanya kepada
Rasulullah, amal apa yang paling afdol untuk dikerjakan. Saat seseorang
ingin berjihad sementara ia punya ibu yang sudah sepuh dan tidak ada
yang merawat, Rasul menyebutkan bahwa
berbakti kepada si ibu adalah amal yang paling utama bagi orang itu.
Ketiga, karena ia melakukan kebaikan.
Berbuat sesuatu untuk orang lain besar pahalanya. Bahkan Rasul bersabda,
“Seandainya
aku berjalan bersama saudaraku untuk memenuhi suatu kebutuhannya, maka
itu lebih aku cintai dari pada I’tikaf sebulan di masjidku ini.” (HR.Thabrani).
Keempat, memberi manfaat kepada orang lain.
Memberi tanpa pamrih, mengundang kesaksian dan pujian orang yang beriman. Allah SWT mengikuti persangkaan hamba-hamba-Nya. Ketika
orang menilai diri kita adalah orang yang baik, maka Allah SWT
menggolongkan kita ke dalam golongan hamba-Nya yang baik-baik.
Sebaliknya jika orang menilai diri kita adalah orang yang jelek, maka
Allah SWT pun menggolongkan kita sebagai hamba-Nya yang jelek.
Pernah
suatu ketika lewat orang membawa jenazah untuk diantar ke kuburnya.
Para sahabat menyebut-nyebut orang itu sebagai orang yang tidak baik.
Kemudian lewat lagi orang-orang membawa jenazah lain untuk diantar ke
kuburnya. Para sahabat menyebut-nyebut kebaikan si mayit. Rasulullah
SAW membenarkan. Seperti itu jugalah Allah SWT berprasangka terhadap
hamba-Nya. Karena itulah Allah menyuruh Rasulullah untuk memerintahkan
kita, orang-orang beriman untuk beramal sebaik-baiknya amal agar
Allah, Rasul, dan orang beriman menilai amal-amal kita. Di hari akhir,
Rasul dan orang-orang beriman akan menjadi saksi di hadapan Allah bahwa
kita seperti yang mereka saksikan di dunia.
KIAT-KIAT AGAR SELALU BERMANFAAT BAGI ORANG LAIN”
- Tingkatkan derajat keimanan kita kepada Allah SWT.
Sebab,
amal tanpa pamrih adalah amal yang hanya mengharap ridha Allah. Kita
tidak meminta balasan dari manusia, cukup dari Allah saja balasannya.
Ketika iman kita tipis terkikis, tak mungkin kita akan bisa beramal
ikhlas Lillahi Ta’ala. Ketika iman kita memuncak kepada Allah SWT,
segala amal untuk memberi manfaat bagi orang lain menjadi ringan
dilakukan.
Bilal bin Rabah bukanlah orang kaya. Ia hidup miskin.
Namun kepadanya, Rasul memerintahkan untuk bersedekah. Sebab, sedekah
tidak membuat rejeki berkurang. Begitu kata Rasul. Bilal mengimani
janji Rasul itu. Ia tidak ragu untuk bersedekah dengan apa yang
dimiliki dalam dirinya, baik bersedekah dengan tenaganya, rejekinya
walau dalam keadaan sesulit apapun.
- Berusaha agar bisa memberi manfaat yang banyak kepada orang lain tanpa pamrih.
Kita harus mengikis habis sifat egois dan rasa serakah terhadap materi dari diri kita. Allah memberi contoh kaum Anshar.
Allah berfirman,
Dan
orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman
(Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor)
‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka
(Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa
yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan
(orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka
dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya,
mereka itulah orang orang yang beruntung (Al-Hasyr [59]: ayat 9)
Merekalah
sebaik-baik manusia. Memberikan semua yang mereka butuhkan untuk
saudara mereka kaum Muhajirin. Bahkan, ketika kaum Muhajirin telah
mapan secara financial, tidak terbetik di hati mereka untuk meminta
kembali apa yang pernah mereka beri.
- Harta yang ada pada diri kita adalah harta yang telah kita berikan kepada orang lain, bukan yang ada dalam genggaman kita.
Logika
ini diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada kita. Suatu ketika Rasulullah
menyembelih kambing. Beliau memerintahkan seorang sahabat untuk
menyedekahkan daging kambing itu. Setelah dibagi-bagi, Rasulullah
bertanya,
“berapa yang tersisa”.
Sahabat itu menjawab,
“hanya tinggal sepotong paha”.
Rasulullah mengoreksi jawaban sahabat itu.
“
Yang tersisa bagi kita adalah daging-daging yang telah dibagikan”.
Begitulah.
Yang tersisa adalah yang telah dibagikan. Itulah milik kita yang
hakiki karena kekal menjadi tabungan kita di akhirat. Sementara, daging
paha yang belum dibagikan hanya akan menjadi sampah jika busuk tidak
sempat kita manfaatkan, atau menjadi kotoran ketika kita makan.
Begitulah
harta kita. Jika kita tidak memanfaatkannya untuk beramal, maka tidak
akan menjadi milik kita selamanya. Harta itu akan habis lapuk karena
waktu, hilang karena kematian kita, dan selalu menjadi intaian ahli
waris kita. Maka tak heran jika dalam sejarah kita melihat bahwa para
sahabat enteng saja menginfakkan uang yang mereka miliki. Sampai-sampai
tidak terpikirkan untuk menyisakan barang sedirham pun untuk diri
mereka sendiri.
Kita akan mudah memberi manfaat tanpa pamrih
kepada orang lain jika dibenak kita ada pemahaman bahwa sebagaimana
kita memperlakukan seperti itu jugalah kita akan diperlakukan.
Jika kita memuliakan tamu, maka seperti itu jugalah yang akan kita dapat ketika bertamu.
Ketika kita pelit ke tetangga, maka sikap seperti itu jugalah yang kita dari tetangga kita.
Demikian
saudaraku seiman yang dirahmati Allah, semoga bahan renungan ini
membawa manfaat bagi kita semua dan semoga kita semua menjadi
hamba-hamba Allah yang terbaik, terbaik dimata Allah maupun terbaik
dimata manusia, amin
Wabillahit-taufiq wal hidayah
Wasslm.wr.wb